Seorang nenek, Diana, berusia 79 tahun merasa kesepian di rumah sendiri. Semua anaknya yang berjumlah 4 orang, tidak ada satupun yang peduli padanya. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Bahkan bila ia menghubungi dengan telpon pun mereka hanya menjawab singkat, dan segera meminta ia untuk berhenti menelpon karena segera akan dikirim uang. Ya.. mereka semua memang selalu mengiriminya uang dan menganggap bahwa hanya itu yang ia perlukan. Padahal ia lebih membutuhkan kehadiran dan kehangatan putra-putrinya daripada sekedar kiriman bulanan.. Ia ingin sekali diajak mengobrol, didengar ceritanya atau sekedar di peluk mereka...
Ia mulai mengingat masa lalu, dan menyesali apa yang telah ia lakukan terhadap anak-anaknya ... Saat mereka membutuhkan kehadirannya, ia sibuk dengan pekerjaannya tanpa memberikan waktu untuk bercengkrama dengan anak-anak. Bahkan saat anak-anak ingin bicara, ia lebih banyak mengabaikan, dengan lebih banyak memberi instruksi daripada memahami perasaan mereka.. Hanya satu yang ia inginkan, mereka semua PATUH dan BERPRESTASI.
Kini apa yang ia dapatkan? Mereka memang sukses, menempuh pendidikan tinggi dan berhasil dalam karir..
Namun tidak mempedulikan dirinya, dalam kerentaan, sendiri.. bahkan mereka berani menghardiknya, dan hanya menghargai dengan materi /uang belaka...
Ia merasa iri dengan temannya, (Ratih, 78 tahun) yang sudah tua juga, tetapi selalu mendapat perhatian dari putra-putrinya. Setiap pekan selalu berkumpul dan dijenguk oleh ananda dan para cucu. Bahkan setiap hari selalu mendapat telpon mesra menanyakan keadaannya. Peluk cium selalu hadir setiap kali mereka mengunjungi sang nenek. Bukan hanya itu, mereka tidak pernah membiarkan nenek yang sudah tua kesepian dalam kesendiriannya..
Apa yang sudah dilakukan Ratih- temannya, yang tidak dilakukan olehnya...
Ditengah kesibukkan Ratih bekerja dan sebagai ibu rumah tangga, ia selalu menyiapkan waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Mendengarkan keluhan mereka dalam suka dan duka. Apa yang dirasakan anak dan suaminya, ia coba pahami dengan mencoba mengenali bahasa tubuh dan perasaan mereka. Ratih mencoba menjadi cermin bagi perasaan anak-anak dan suami, sehingga mereka merasa di dengar, diterima dan dipahami..
Saat akan memberi pesan, Ratih pun berusaha untuk menggunakan pesan Saya, tanpa menyalahkan, menggurui atau merendahkan, seperti Gaya Komunikasi Populer yang biasa dilakukan ibu-ibu yang lain. Ia lebih memilih untuk mengajak anaknya berdialog, berpikir dan memilih dan memutuskan sendiri, dengan arahan yang di berikan. Senyuman, pelukan dan penghargaan lebih ia berikan daripada instruksi, hardikan atau celaan.
Dan kini pun ia melihat hasilnya..
Andai dulu ia ikut mempelajari bagaimana seharusnya berkomunikasi dengan anak, yang bukan sekedar membuat anak menurut, tetapi membuat kedekatan hati dan kemampuan berpikir kritis serta kecerdasan emosi anaknya, mungkin sejak dulu ia sudah bisa membangun JEMBATAN HATI dengan anak-anaknya, sehingga kini ia bisa merasakan apa yang dirasakan Ratih temannya, dalam kehangatan keluarga.
Ingin ia mengatakan pada anak cucunya, agar mau mengubah cara pengasuhan dengan anak-anak mereka. Agar mereka mulai menggunakan komunikasi yang benar, baik dan menyenangkan....agar tumbuh generasi yang bukan hanya cerdas dalam berpikir, tetapi juga cerdas emosi dan
cerdas hati.
Apalagi saat ini semakin banyak tantangan yang dihadapi generasi muda, dengan segala problema dan tuntutan kehidupan yang makin tinggi. Tentu saja anak-anak menjadi makin membutuhkan kehangatan dan dukungan keluarga. Kehadiran ayah-ibu bukan hanya secara fisik tetapi juga mempunyai pengetahuan dan ketrampilan untuk mengasuh dengan benar, baik dan menyenangkan.
Masa lalu yang kurang menyenangkan harus segera diubah agar persepsi negatif tidak menjadi kendala dalam pengasuhan. Yang dulu mendapat kekerasan, jangan menjadi alasan untuk berlaku keras juga pada anak, atau sebaliknya menjadi “kurang tegas”dan serba boleh.
Yang dulu banyak diabaikan, tidak kemudian mengabaikan juga.. atau terlalu menuntut untuk hal-hal yang pernah menjadi impiannya, untuk dibebankan pada ananda.
Sadarilah setiap anak adalah unik, mereka adalah bintang terang yang memiliki cahaya nya sendiri. Kita hanya perlu memberi ruang untuk terangnya dan mengatur jarak agar tidak menutupinya tetapi tidak juga meninggalkannya.
Kita hanya perlu membiasakan berinteraksi dengan hati bersamanya, agar ia pun belajar menggunakan hati untuk berinteraksi nantinya.
Kita hanya mencontohkan kepedulian kita pada perasaan dan masalah yang mereka hadapi, agar ia pun menjadi peduli pada lingkungannya.
Kita hanya menyapanya dengan santun dan lembut agar ia tak jadi congkak dan pemberang.
Kita hanya perlu lebih banyak bertanya daripada memberi instruksi tanpa kesempatan dialog, agar ia mampu berpikir kritis, memilih dan memiliki kemampuan untuk memutuskan dan menyelesaikan masalah di kemudian hari.
Itulah yang ingin ia sampaikan pada anak cucunya, agar menyesal seperti yang ia rasakan saat ini.
Andai dulu ia tahu komunikasi yang ia lakukan pada anak-anaknya jauh lebih berharga daripada harta dan benda-benda yang ia berikan kepada mereka.